Laman

Selasa, 10 September 2013

Analisis Landasan Pendidikan terhadap Fenomena Tawuran di Kalangan Pelajar



Tawuran memang sekarang-sekarang ini sering terjadi di kalangan pelajar. Mulai dari SD juga sekarang malah sudah ada yang ikut-ikutan seperti kakak-kakaknya yang mencontohkan untuk tawuran seperti itu. Anak SD hanya ikut-ikutan dan mereka melakukan itu hanya atas dasar melihat kakak-kakaknya seperti itu. Mereka pun tidak tahu nantinya akan seperti apa dampak yang akan ditimbulkan dari kejadian tawuran tersebut.
Tidak hanya anak SD yang mengikuti kakak-kakak kelas yang berada di atas jenjang anak SD, yaitu SMP, SMA, bahkan Mahasiswa pun terkadang ikut-ikutan tawuran. Atas dasar yang berbeda-beda mereka melakukan tawuran. Mulai dari karena seorang teman yang dilecehkan. Dan atas nama solidaritas mereka rela berkorban demi temannya tersebut. Namu, hal itu seharusnya tidak dilakukan. Karena tawuran akan berakibat fatal hingga mengakibatkan kematian jika emosi pelaku sudah tidak dapat dikendalikan lagi.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus.
DAMPAK PERKELAHIAN PELAJAR
Jelas bahwa perkelahian pelajar ini merugikan banyak pihak. Paling tidak ada empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan. Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang paling dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Para pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia.
PANDANGAN UMUM TERHADAP PENYEBAB PERKELAHIAN PELAJAR
Sering dituduhkan, pelajar yang berkelahi berasal dari sekolah kejuruan, berasal dari keluarga dengan ekonomi yang lemah. Data di Jakarta tidak mendukung hal ini. Dari 275 sekolah yang sering terlibat perkelahian, 77 di antaranya adalah sekolah menengah umum. Begitu juga dari tingkat ekonominya, yang menunjukkan ada sebagian pelajar yang sering berkelahi berasal dari keluarga mampu secara ekonomi. Tuduhan lain juga sering dialamatkan ke sekolah yang dirasa kurang memberikan pendidikan agama dan moral yang baik. Begitu juga pada keluarga yang dikatakan kurang harmonis dan sering tidak berada di rumah.
Padahal penyebab perkelahian pelajar tidaklah sesederhana itu. Terutama di kota besar, masalahnya sedemikian kompleks, meliputi faktor sosiologis, budaya, psikologis, juga kebijakan pendidikan dalam arti luas (kurikulum yang padat misalnya), serta kebijakan publik lainnya seperti angkutan umum dan tata kota.
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik. Pada delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya.
TINJAUAN PSIKOLOGI PENYEBAB REMAJA TERLIBAT PERKELAHIAN PELAJAR
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1. Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3. Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.
4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
Dari tinjauan dasar-dasar pendidikan adalah
Berdasarkan sudut pandang pedagogik, sebagaimana dikemukakan M.J. Langeveld (1980) dapat disimpulkan bahwa pendidikan atau mendidik adalah suatu upaya orang dewasa yang dilakukan secara sengaja untuk membantu anak atau orang yang belum dewasa agar mencapai kedewasaan.
Maka dari itu, seharusnya pendidikan dapat mencegah para pelajar untuk berbuat hal-hal yang tidak sesuai dengan norma yang diajarkan di sekolah. Tawuran adalah salah satu kegiatan yang sangat melanggar norma-norma dengan cara berkelahi secara masal dan merugikan orang banyak. Dalam hal ini pendidikan juga dapat mendidik para pelajar agar menjadi manusia yang dewasa yangberfikir positif tentang hal yang akan mereka lakukan dan memikirkan dampak yang akan terjadi apabila mereka melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan.
Manusia sebagai Makhluk yang Perlu Dididik dan Dapat Dididik Setelah kelahirannya, manusia tidak dengan sendirinya mampu menjadi manusia. Untuk menjadi manusia, ia perlu dididik dan mendidik diri. Sehubungan dengan ini M.J. Langeveld (1980) menyebut manusia sebagai Animal Educandum.
Ada tiga prinsip antropologis yang mendasari perlunya manusia mendapatkan pendidikan dan mendidik diri, yaitu: (1) prinsip historisitas, (2) prinsip idealitas, dan (3) prinsip faktual/posibilitas. Kesimpulan bahwa manusia perlu dididik dan mendidik diri, mengimplikasikan bahwa manusia dapat dididik. Sehubungan dengan ini, M.J. Langeveld (1980) juga menyebut manusia sebagai Animal Educabile. Ada lima prinsip antropologis yang mendasari bahwa manusia dapat dididik yaitu: (1) prinsip potensialitas, (2) prinsip dinamika, (3) prinsip individualitas, (4) prinsip sosialitas, dan (5) prinsip moralitas.
Seharusnya manusia yang dapat dididik dan mendidik diri sendiri itu dapat menahan amarah sehingga tidak terjadi hal perkelahian atau tawuran semacam ini. Pada prinsip potensialitas, manusia berpotensi untuk melakukan segala hal yang ia kehendaki dari dirinya sendiri maupun dorongan dari orang lain. Pada prinsip dinamika, manusia dapat bergerak sesuai dengan kehendaknya. Hal ini dapat dibuktikan dengan prinsip individualitas yang menyakini bahwa dirinya benar.
Namun, dalam prinsip sosialitas, tawuran dapat menjadi sasaran karena seseorang merasa berjiwa sosial terhadap teman seperjuangannya jika ia ikut membantu temannnya tersebut tanpa mengetahui sebenarnya siapa yang bersalah. Karena sikap sosialitasnya ia berani untuk mengambil resiko tanpa berfikir dengan matang apa yang akan terjadi nantinya. Seharusnya apabila kita memiliki prinsip sosialitas dalam diri, kita harus mengetahui mana yang benar dan mana yang salah tanpa mendiskriminasikan seseorang, dalam prinsip moralitas, kita diajarkan untuk memiliki moral yang baik demi terciptanya manusia yang berpendidikan. Bukannya malah tawuran yang jelas-jelas dapat merusak moral seseorang dan mengakibatkan hal yang tidak diinginkan. Jika para pelajar itu bermoral, maka mereka tidak akan langsung mengambil keputusan untuk melakukan tawuran yang jelas-jelas sangat merugikan banyak pihak.
Landasan yuridis pendidikan Indonesia adalah seperangkat konsep peraturan perundang-undangan yang menjadi titik tolak system pendidikan Indonesia, yang menurut Undang-Undang Dasar 1945 meliputi, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Ketetapan MPR, Undang-Undang Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, Keputusan Presiden, peraturan pelaksanaan lainnya, seperti peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain.
Sistem pendidikan nasional yaitu “pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” (Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003)
Pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia terdapat pasal-pasal yang mengatur tantang pelajar. Apabila terjadi tawuran seperti ini akan merusak pemahaman yang terjadi di dalam suatu tatanan kehidupan bermasyarakat. Jika manusia itu benar-benar dididik sesuai dengan UUD RI, maka tidak akan terjadi tawuran yang belakang ini sering terjadi. Para pelajar lebih bisa memahami apa nilai-nilai yang terkandung di dalam UUD RI.
Dan kita pun dengan tenang hidup rukun dengan sesama tanpa adanya tawuran antar pelajar di lingkungan sekolah. Seharusnya yang terjadi adalah saling bersilaturahmi antar pelajar agar terjalin tali persaudaraan yang kuat antar sesama pelajar, saling berkomunikasi dan sharing tentang masalah-masalah yang sedang dihadapi. Bukannya malah bermusuhan dan terkadang malah menimbulkan korban jiwa akibat kejadian tawuran tersebut.
Hal ini pun juga terdapar di dalam Pancasila yang berbunyi, “ Kemanusiaan yang adil dan beradab” serta “Persatuan Indonesia”. Kita, sebagai manusia yang adil dan beradab seharusnya dan tidak sepatutnya untuk melakukan hal seperti tawuran dan hal-hal yang tidak terpuji lainnya.
Di dalam Pancasila ini kita dituntut untuk menjadi manusia yang adil dan beradab. Sebagai manusia yang dididik, kita juga harus memiliki sifat adil dan beradab agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan yang dapt merusak harkat dan martabat bangsa karena anak muda sebagai penerus bangsa ini terang-terangan melakukan tawuran di muka umum dengan bangga dan tanpa sadar apa yang dilakukannya terhadap sekelompok temannya tersebut. Terkadang malah hanya karena masalah sepele mereka melakukan tawuran dan terkadang tidak sesuai dengan alasan yang logis.
Dalam Pancasila juga terdapat kata “Persatuan Indonesia”. Kita sebagai rakyat yang terdidik dan dididik seharusnya dapat memahami arti dari kata “Persatuan Indonesia” yang bermakna sangat luas. Kita sebagai rakyat Indonesia harus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Maka dari itu seharusnya kita dapat menghindari kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat dan justru akan merusak persatuan  dan kesatuan bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Paket Landasan Pendidikan: UPI : 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar