Tawuran memang sekarang-sekarang ini sering terjadi di kalangan pelajar.
Mulai dari SD juga sekarang malah sudah ada yang ikut-ikutan seperti
kakak-kakaknya yang mencontohkan untuk tawuran seperti itu. Anak SD hanya
ikut-ikutan dan mereka melakukan itu hanya atas dasar melihat kakak-kakaknya
seperti itu. Mereka pun tidak tahu nantinya akan seperti apa dampak yang akan
ditimbulkan dari kejadian tawuran tersebut.
Tidak hanya anak SD yang mengikuti kakak-kakak kelas yang berada di atas
jenjang anak SD, yaitu SMP, SMA, bahkan Mahasiswa pun terkadang ikut-ikutan
tawuran. Atas dasar yang berbeda-beda mereka melakukan tawuran. Mulai dari
karena seorang teman yang dilecehkan. Dan atas nama solidaritas mereka rela
berkorban demi temannya tersebut. Namu, hal itu seharusnya tidak dilakukan.
Karena tawuran akan berakibat fatal hingga mengakibatkan kematian jika emosi
pelaku sudah tidak dapat dikendalikan lagi.
Di kota-kota besar seperti Jakarta,
Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering terjadi. Data di Jakarta misalnya
(Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar.
Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995
terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat
lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota
Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat
dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan
sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat
sekaligus.
DAMPAK
PERKELAHIAN PELAJAR
Jelas bahwa perkelahian pelajar ini
merugikan banyak pihak. Paling tidak ada empat kategori dampak negatif dari
perkelahian pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat
perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami
cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan
fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan.
Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang
paling dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan siswa
terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Para pelajar
itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan
masalah mereka, dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar tujuannya
tercapai. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi jangka panjang
terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia.
PANDANGAN UMUM TERHADAP PENYEBAB PERKELAHIAN PELAJAR
Sering dituduhkan, pelajar yang
berkelahi berasal dari sekolah kejuruan, berasal dari keluarga dengan ekonomi
yang lemah. Data di Jakarta tidak mendukung hal ini. Dari 275 sekolah yang
sering terlibat perkelahian, 77 di antaranya adalah sekolah menengah umum.
Begitu juga dari tingkat ekonominya, yang menunjukkan ada sebagian pelajar yang
sering berkelahi berasal dari keluarga mampu secara ekonomi. Tuduhan lain juga
sering dialamatkan ke sekolah yang dirasa kurang memberikan pendidikan agama
dan moral yang baik. Begitu juga pada keluarga yang dikatakan kurang harmonis
dan sering tidak berada di rumah.
Padahal penyebab perkelahian pelajar
tidaklah sesederhana itu. Terutama di kota besar, masalahnya sedemikian
kompleks, meliputi faktor sosiologis, budaya, psikologis, juga kebijakan
pendidikan dalam arti luas (kurikulum yang padat misalnya), serta kebijakan
publik lainnya seperti angkutan umum dan tata kota.
Secara psikologis, perkelahian yang
melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan
remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian,
dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik.
Pada delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang
“mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat
adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan pada
delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di
dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan
kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai
anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan oleh
kelompoknya.
TINJAUAN PSIKOLOGI PENYEBAB REMAJA TERLIBAT
PERKELAHIAN PELAJAR
Dalam pandangan psikologi, setiap
perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu
(sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal.
Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya
4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1. Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian
biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks.
Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat
ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan
banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada
remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi
memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah
putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain
pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk
memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka
mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka
terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat.
Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi
kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak.
Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari
dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula.
Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan
tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan
identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan
menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas
yang dibangunnya.
3. Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan
dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi
sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu,
lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya
suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran,
tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang
melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu
masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting.
Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta
sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau
dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.
4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan
sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya
perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota
lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana
transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota
(bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk
belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang
berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
Dari
tinjauan dasar-dasar pendidikan adalah
Berdasarkan
sudut pandang pedagogik, sebagaimana dikemukakan M.J. Langeveld (1980) dapat
disimpulkan bahwa pendidikan atau mendidik adalah suatu upaya orang dewasa yang
dilakukan secara sengaja untuk membantu anak atau orang yang belum dewasa agar
mencapai kedewasaan.
Maka dari itu,
seharusnya pendidikan dapat mencegah para pelajar untuk berbuat hal-hal yang
tidak sesuai dengan norma yang diajarkan di sekolah. Tawuran adalah salah satu
kegiatan yang sangat melanggar norma-norma dengan cara berkelahi secara masal
dan merugikan orang banyak. Dalam hal ini pendidikan juga dapat mendidik para
pelajar agar menjadi manusia yang dewasa yangberfikir positif tentang hal yang
akan mereka lakukan dan memikirkan dampak yang akan terjadi apabila mereka
melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan.
Manusia sebagai Makhluk yang
Perlu Dididik dan Dapat Dididik Setelah
kelahirannya, manusia tidak dengan sendirinya mampu menjadi manusia. Untuk
menjadi manusia, ia perlu dididik dan mendidik diri. Sehubungan dengan ini M.J.
Langeveld (1980) menyebut manusia sebagai Animal Educandum.
Ada tiga prinsip
antropologis yang mendasari perlunya manusia mendapatkan pendidikan dan
mendidik diri, yaitu: (1) prinsip historisitas, (2) prinsip idealitas, dan
(3) prinsip faktual/posibilitas. Kesimpulan bahwa manusia perlu dididik dan
mendidik diri, mengimplikasikan bahwa manusia dapat dididik. Sehubungan dengan
ini, M.J. Langeveld (1980) juga menyebut manusia sebagai Animal Educabile.
Ada lima prinsip antropologis yang mendasari bahwa manusia dapat dididik
yaitu: (1) prinsip potensialitas, (2) prinsip dinamika, (3) prinsip individualitas,
(4) prinsip sosialitas, dan (5) prinsip moralitas.
Seharusnya
manusia yang dapat dididik dan mendidik diri sendiri itu dapat menahan amarah
sehingga tidak terjadi hal perkelahian atau tawuran semacam ini. Pada prinsip
potensialitas, manusia berpotensi untuk melakukan segala hal yang ia kehendaki
dari dirinya sendiri maupun dorongan dari orang lain. Pada prinsip dinamika,
manusia dapat bergerak sesuai dengan kehendaknya. Hal ini dapat dibuktikan
dengan prinsip individualitas yang menyakini bahwa dirinya benar.
Namun, dalam
prinsip sosialitas, tawuran dapat menjadi sasaran karena seseorang merasa
berjiwa sosial terhadap teman seperjuangannya jika ia ikut membantu temannnya
tersebut tanpa mengetahui sebenarnya siapa yang bersalah. Karena sikap
sosialitasnya ia berani untuk mengambil resiko tanpa berfikir dengan matang apa
yang akan terjadi nantinya. Seharusnya apabila kita memiliki prinsip sosialitas
dalam diri, kita harus mengetahui mana yang benar dan mana yang salah tanpa
mendiskriminasikan seseorang, dalam prinsip moralitas, kita diajarkan untuk
memiliki moral yang baik demi terciptanya manusia yang berpendidikan. Bukannya
malah tawuran yang jelas-jelas dapat merusak moral seseorang dan mengakibatkan
hal yang tidak diinginkan. Jika para pelajar itu bermoral, maka mereka tidak
akan langsung mengambil keputusan untuk melakukan tawuran yang jelas-jelas
sangat merugikan banyak pihak.
Landasan yuridis
pendidikan Indonesia adalah seperangkat konsep peraturan perundang-undangan
yang menjadi titik tolak system pendidikan Indonesia, yang menurut
Undang-Undang Dasar 1945 meliputi, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia,
Ketetapan MPR, Undang-Undang Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang,
peraturan pemerintah, Keputusan Presiden, peraturan pelaksanaan lainnya,
seperti peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain.
Sistem
pendidikan nasional yaitu “pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” (Pasal 2
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003)
Pada
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia terdapat pasal-pasal yang mengatur
tantang pelajar. Apabila terjadi tawuran seperti ini akan merusak pemahaman yang
terjadi di dalam suatu tatanan kehidupan bermasyarakat. Jika manusia itu
benar-benar dididik sesuai dengan UUD RI, maka tidak akan terjadi tawuran yang
belakang ini sering terjadi. Para pelajar lebih bisa memahami apa nilai-nilai
yang terkandung di dalam UUD RI.
Dan kita pun
dengan tenang hidup rukun dengan sesama tanpa adanya tawuran antar pelajar di
lingkungan sekolah. Seharusnya yang terjadi adalah saling bersilaturahmi antar
pelajar agar terjalin tali persaudaraan yang kuat antar sesama pelajar, saling
berkomunikasi dan sharing tentang masalah-masalah yang sedang dihadapi.
Bukannya malah bermusuhan dan terkadang malah menimbulkan korban jiwa akibat
kejadian tawuran tersebut.
Hal ini pun juga
terdapar di dalam Pancasila yang berbunyi, “ Kemanusiaan yang adil dan beradab”
serta “Persatuan Indonesia”. Kita, sebagai manusia yang adil dan beradab
seharusnya dan tidak sepatutnya untuk melakukan hal seperti tawuran dan hal-hal
yang tidak terpuji lainnya.
Di dalam
Pancasila ini kita dituntut untuk menjadi manusia yang adil dan beradab.
Sebagai manusia yang dididik, kita juga harus memiliki sifat adil dan beradab
agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan yang dapt merusak harkat
dan martabat bangsa karena anak muda sebagai penerus bangsa ini terang-terangan
melakukan tawuran di muka umum dengan bangga dan tanpa sadar apa yang
dilakukannya terhadap sekelompok temannya tersebut. Terkadang malah hanya
karena masalah sepele mereka melakukan tawuran dan terkadang tidak sesuai
dengan alasan yang logis.
Dalam Pancasila
juga terdapat kata “Persatuan Indonesia”. Kita sebagai rakyat yang terdidik dan
dididik seharusnya dapat memahami arti dari kata “Persatuan Indonesia” yang
bermakna sangat luas. Kita sebagai rakyat Indonesia harus menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia. Maka dari itu seharusnya kita dapat menghindari
kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat dan justru akan merusak persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Paket Landasan Pendidikan: UPI : 2012
http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/258-tawuran-pelajar-memprihatinkan-dunia-pendidikan.html Sander Diki Zulkarnaen, M.Psi