Pengertian
Belajar
Dalam
psikologi dan pendidikan , pembelajaran secara umum didefinisikan sebagai suatu
proses yang menyatukan kognitif, emosional, dan lingkungan pengaruh dan untuk pengalaman
memperoleh, meningkatkan, atau membuat perubahan satu pengetahuan,
keterampilan, nilai, dan pandangan dunia (Illeris, 2000; Ormorod, 1995).
Belajar
sebagai suatu proses berfokus pada apa yang terjadi ketika belajar berlangsung.
Penjelasan tentang apa yang terjadi merupakan teori-teori belajar. Teori
belajar adalah upaya untuk menggambarkan bagaimana orang dan hewan belajar,
sehingga membantu kita memahami proses kompleks inheren pembelajaran.
(Wikipedia)
Macam-macam
teori belajar
Dengan
berkembangnya psikologi dalam pendidikan, maka bersamaan dengan itu bermunculan
pula berbagai teori tentang belajar.Dari berbagai tulisan yang membahas tentang
perkembangan teori belajar seperti (Atkinson, dkk. 1997; Gledler Margaret Bell,
1986) Di
munculah secara beruntun beberapa aliran psikologi pendidikan, masing-masing
yaitu:
- Psikologi
behavioristik,
- Psikologi Kognitif,dan
- Psikologi Humanistis.
Ketiga aliran psikologi pendidikan di atas tumbuh
dan berkembang secara beruntun, dari priode ke priode berikutnya. Dalam setiap
priode perkembangan aliran psikologi
tersebut bermunculan teori-teori tentang belajar, yaitu:
- Teori-teori
belajar dari psikologi behavioristik.
- Teori-teori
belajar dari psikologi Kognitif.
- Teori-teori
belajar dari psikologi Humanistis.
Adapun
uraian masing-masing kelompok teori belajar tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Teori
belajar behavioristik
Teori
behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner
tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu
berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah
pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai
aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang
tampak sebagai hasil belajar.Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya,
mendudukan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku
tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya
perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila
dikenai hukuman.
Contoh
teori belajar behavorisme, Orang tua kita selalu menyuruh agar kita selalu
memotong kuku saat kuku kita sudah panjang. Kita tidak tahu alasan kenapa kita
harus memotong kuku. Kita melakukan hal tersebut karena orang tua selalu
memberi contoh, karena itu kita juga memotong kuku kita. Hal tersebut juga
sudah menjadi kebiasaan.
Pandangan
tentang belajar menurut aliran tingkah laku (behavioristik), tidak lain adalah
perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan
respon. Atau dengan kata lain, belajar adalah perubahan yang dialami siswa
dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai
hasil interaksi antara stimulus dan respon. Para ahli yang banyak berkarya
dalam aliran ini antara lain:
Thorndike,(1911) ; Wathson,(1963) ; Hull,(1943); dan Skinner,(1968).
Thorndike
Pada
mulanya, pendidikan dan pengajaran di Amerika Serikat didominasi oleh pengaruh
dari Thorndike (1874 – 1949). Teori Thorndike disebut sebagai “aliran
koneksionis” atau connectionism, karena
belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon.
Menurut Thorndike (1911), salah seorang pendiri aliran tingkah laku, belajar
adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan,
atau gerakan) dan respons ( yang juga bisa berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan). Jelasnya, menurut Thorndike, perubahan tingkah laku boleh berwujud
sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang nonkonkret (tidak bias
diamati).
Teori
ini sering juga disebut dengan “trial-and-error
learning” individu yang belajar melakukan kegiatan melalui proses “trial-and-error” dalam rangka memilih
respon yang tepat bagi stimulasi tertentu. Menurut teori trial and error
(mencoba-coba dan gagal) ini, setiap organisme jika dihadapkan dengan situasi
baru akan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya coba-coba secara
terus-menerus. Jika dalam usaha mencoba itu kemudian secara kebetulan ada
perbuatan yang dianggap memenuhi tuntutan situasi, maka perbuatan yang cocok
itu kemudian dipegangnya. Karena latihan yang terus menerus maka waktu yang
dipergunakan untuk melakukan perbuatan yang cocok itu makin lama makin efisien.Ciri-ciri
belajar dengan “trial-and-error” yaitu:
- Ada
motif pendorong aktivitas,
- Ada
berbagai respon terhadap situasi,
- Ada
berbagai respon-respon yang gagal atau salah,dan
- Ada
kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan.
Jadi, proses belajar menurut Thorndike melalui
proses:
Hukum Kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme
memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut
akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat. Prinsip pertama teori koneksionisme adalah
belajar suatu kegiatan membentuk asosiasi(connection) antara kesan panca indera
dengan kecenderungan bertindak..
Masalah-masalah yang terjadi dalam hukum Law of Readiness:
a) Masalah pertama hukum law of
readiness adalah jika kecenderungan bertindak dan orang melakukannya, maka ia
akan merasa puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan lain.
b) Masalah kedua, jika ada
kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak melakukannya, maka timbullah rasa
ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau
meniadakan ketidakpuasannya.
c) Masalah ketiganya adalah bila tidak
ada kecenderungan bertindak padahal ia melakukannya, maka timbullah
ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau
meniadakan ketidakpuasannya.
2.) Hukum Latihan (law of exercise), yaitu
semakin sering tingkah laku diulang/dilatih (digunakan) , maka asosiasi
tersebut akan semakin kuat. Prinsip law of exercise adalah koneksi antara
kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat
karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak
dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama dalam
belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin
dikuasai.
3.) Hukum akibat (law of effect), yaitu
hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan
cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini
menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan.
Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan
lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak
menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.
sSkiner
Dari
semua pendukung teori tingkah laku, mungkn teori Skinner lah yang paling besar
pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar. Skinner menganggap “reward” atau “ reinforment” sebagai faktor terpenting dalam proses belajar.
Beberapa program pembelajaran seperti Teaching machine, Mathetics, atau
program-program lain yang memakai konsep stimulus, respons, dan factor penguat
(reinforcement), adalah contoh-contoh
program yang memanfaatkan teori skinner. Skinner membagi dua jenis respon dalam
proses belajar, yakni:
·
Respondents : Respon yang terjadi karena stimulus
khusus, misalnya Pavlov.
·
Operants : Respon yang terjadi karena situasi
random.
Prinsip belajar
Skinner adalah :
1). Hasil belajar harus segera diberitahukan
pada siswa jika salah dibetulkan, jika benar diberi penguat.
2). Proses belajar harus mengikuti irama dari
yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul.
3). Dalam proses pembelajaran lebih
dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu
diubah untuk menghindari hukuman.
4). Tingkah laku yang diinginkan pendidik
diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal
variable ratio reinforcer.
5). Dalam pembelajaran digunakan shapping.
Clark Hull
Teori ini, terutama
setelah Skinner memperkenalkan teorinya, ternyata tidak banyak dipakai dalam
dunia praktis, meskipun sering digunakan dalam berbagai eksperimen dalam
laboratorium. Mengemukakan
konsep pokok teorinya yang sangat di pengaruhi oleh teori evolusi Darwin. Dia
berpendapat bahwa tingkah laku seseorang berfungsi untuk menjaga kelangsungan
hidup. Oleh karena itu, dalam teori Hull, kebutuhan biologis dan pemuasan
kebutuhan biologis menempati posisi sentral. Menurut Hull, kebutuhan
dikonsepkan sebagai dorongan , seperti lapar, haus, tidur, dan sebagainya.
Stimulus hampir selalu di kaitkan dengan kebutuhan biologis ini, meskipun
menghasilkan respon yang berbeda–beda bentuknya. Teori ini tidak banyak dipakai
dalam dunia praktis karena dianggap terlalu kompleks dan sulit dimengerti,
idenya tentang proses internal dianggap abstrak dan sulit dibuktikan melalui
eksperimen empiris, dan partikularistic,
usaha utk menggeneralisasi hasil eksperimen secara berlebihan, meskipun sering
digunakan dalam berbagai eksperimen
Dua
hal yang sangat penting dalam proses belajar dari Hull ialah adanya Incentive motivation (motivasi insentif)
dan Drive reduction (pengurangan stimulus pendorong). Kecepatan berespon
berubah bila besarnya hadiah (revaro) berubah.
Penggunaan
praktis teori belajar dari Hull ini untuk kegiatan dalam kelas, adalah sebagai
berikut:
1).Teori belajar
didasarkan pada Drive-reduction atau drive stimulus reduction.
2).Intruksional
obyektif harus dirumuskan secara spesifik dan jelas.
3).
Ruangan kelas harus dimulai dari yang sedemikian rupa sehingga memudahkan
terjadinya proses belajar.
4).
Pelajaran harus dimulai dari yang sederhana/ mudah menuju kepada yang lebih
kompleks/ sulit.
5). Kecemasan
harus ditimbulkan untuk mendorong kemauan belajar.
6).
Latihan harus didistribusikan dengan hati-hati supaya tidak terjadi inhibisi.
Dengan perkataan lain, kelelahan tidak boleh menggangu belajar.
7).
Urutan mata pelajaran diatur sedemikian rupa sehingga mata pelajaran yang
terdahulu tidak menghambat tetapi justru harus menjadi perangsang yang
mendorong belajar pada mata pelajaran berikutnya.
Watson
Berbeda
dengan Thorndike, menurut Watson pelopor yang datang sesudah Thorndike,
stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku yang “bisa
diamati”(observable). Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan
mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang
tidak perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental yang terjadi dalam
benak siswa tidak penting. Semua itu penting, akan tetapi faktor-faktor
tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum.
Penganut
aliran ini lebih suka memilih untuk tidak memikirkan hal – hal yang tidak bisa
diukur, meskipun mereka tetap mengakui bahwa semua hal itu penting. Pendapat
yang di kemukakan yaitu :
·
Teori
stimulus dan respon. Apabila kita menganalisis tingkah laku yang kompleks, akan
di temukan rangkaian unit stimulus dan respon yang disebut reflex. Stimulus
merupakan situasi objektif dan respon merupakan reaksi subjektif individu
terhadap stimulus.
·
Pengamatan
dan kesan. Adanya kesan motoris di tujukan terhadap berbagai stimulus.
·
Perasaan,
Tingkah laku dan Afektif. Di temukan tiga reaksi emosional yang di bawa sejak
lahir, yaitu : takut, marah, dan cinta. Perasaan senag dan tidak senang
merupakan reaksi senso motoris.
·
Teori
berpikir. Berpikir harus merupakan tingkah laku senso motoris dan berbicara
dalam hati adalah tingkah laku berfikir.
·
Pengaruh
Lingkungan tehadap perkembangan individu. Reaksi instinktif atau kodrati yang
di bawa sejak lahir jumlahnya sedikit sekali, sedangkan kebiasaan – kebiasaan
yang terbentuk dalam perkembangan di sebabkan oleh latihan dan belajar.
Edwin
Guthrie
Teori Edwin Gutrie, mengemukakan
teori kontinguiti yang memandang bahwa belajar merupakan kaitan asosiatif
antara stimulus tertentu dan respon tertentu. Selanjutnya Edwin Guthrie
berpendapat bahwa hubungan antara stimulus dan respon merupakan faktor kritis
dalam belajar. Oleh karena itu, di perlukan pemberian stimulus yang sering agar
hubungan menjadi lebih langgeng. Selain itu, suatu respon akan lebih kuat
apabila respon tersebut berhubungan dengan berbagai macam stimulus. Sebagai
contoh, seseorang yang memiliki kebiasaan merokok sulit di tinggalkan. Hal ini
dapat terjadi karena merokok bukan hanya berhubungan dengan satu macam
stimulus, tetapi juga dengan stimulus lain seperti minum kopi.Guthrie juga
mengemukakan bahwa hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar.
Menurutnya suatu hukuman yang di berikan pada waktu yang tepat, akan mampu
mengubah kebiasaan seseorang Guthrie juga
mengemukakan bahwa “hukuman” memegang peran penting dalam belajar. Menurutnya
suatu hukuman yang diberikan pada saat yang tepat, akan mampu mengubah
kebiasaan seseorang. Sebagai contoh, seorang anak perempuan yang setiap kali
pulang sekolah, selalu mencampakkan baju dan topinya di lantai.
Kemudian
ibunya menyuruh agar baju dan topi dipakai kembali oleh anaknya, lalu kembali
keluar, dan masuk rumah kembali sambil menggantungkan topi dan bajunya di
tempat gantungan. Setelah beberapa kali melakukan hal itu, respons menggantung
topi dan baju menjadi terisolasi dengan stimulus memasuki rumah. Meskipun
demikian, nantinya faktor hukuman ini tidak lagi dominan dalam teori-teori
tingkah laku. Terutama Skinner makin mempopulerkan ide tentang “penguatan”
(reinforcement).
Teori Belajar kognitivisme
Teori
belajar kognitif mulai berkembang pada abad terakhir sebagai protes terhadap
teori perilaku yang yang telah berkembang sebelumnya. Model kognitif ini
memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran
melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan
antara pengehuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini
menekankan pada bagaimana informasi diproses.
Peneliti
yang mengembangkan teori kognitif ini
adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari ketiga peneliti ini, masing-masing
memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel menekankan pada apsek pengelolaan
(organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap belajar.Bruner bekerja pada
pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban atas
bagaimana peserta didik memperoleh informasi dari lingkungan.
Beberapa
ahli berpendapat tentang teori belajar kognitivisme, diantaranya sebagai
berikut:
a). Piaget “Cognitive-Developmental”
Menurut
Jean Piaget (1975) salah seorang penganut aliran kognitif adalah pertumbuhan kapasitas mental
memberikan kemampuan-kemampuan mental baru yang sebelumnya tidak ada.
Pertumbuhan intelektual adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif.
Selain itu Jean Piaget mengatakan bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari
tiga tahapan, yakni:
1) Kematangan,
2) Pengalaman
fisik/ lingkungan,
3) Transmisi
sosial, dan
4) Equilibrium
atau self regulation.
Selanjutnya Jean membagi
tingkatan-tingkatan perkembangan, yaitu:
1) Tingkat
Sensori Motoris : 0,0 – 2,0
2) Tingkat
Preoperasional : 2,0 – 7,0
3) Tingkat
operasi konkret : 7,0 – 11,0
4) Tingkat
operasi formal : 11,0 -----
b). Ausubel “advance organizer”
Ausubel percaya bahwa “advance organizer” dapat memberikan
tiga manfaat;
1). Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual
untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa.
2). Dapat berfungsi sebagai jembatan antara apa
yang sedang dipelajari siswa saat ini dengan apa yang akan dipelajari siswa,
sedemikian rupa sehingga;
3).
Mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.
c). Jerome Bruner “ Discovery Learning”
Menurut
pandangan Brunner (1964) adalah Discovery Learning yaitu di mana murid
mengorganisasi badan yang mempelajari dengan suatu bentuk akhir. Selain itu
Brunner menyatakan bahwa teori belajar
itu bersifat deskriptif, sedangkan teori pembelajaran itu bersifat preskriptif.
Misalnya, teori penjumlahan, sedangkan teori pembelajaran menguraikan bagaimana
cara mengajarkan penjumlahan.
3.
Teori Belajar Humanitis
Menurut
para pendidik aliran humanitis penyusunan dan pengkajian materi pelajaran harus
sesuai dengan perasaan danperhatian siswa. Tujuan utama pendidik adalah
membantu seswa mengembangkan diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan
membantunya dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka
(Hamachek,1997,p. 148)
a). Bloon dan Krathowl
Dalam hal ini, Bloom dan Krathowl menunjukkan apa
yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa, yang tercakup dalam tiga
kawasan berikut:
1).
Kognitif
Kognitif terdiri dari enam tingkatan yaitu
:
a. Pengetahuan (mengingat, menghafal),
b. Pemahaman(menginterprestasikan),
c. Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu
masalah),
d. Analisis (menjabarkan suatu konsep),
e. Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi
suatu konsep utuh),
f. Evaluasi (membandingkan nilai, ide, metode, dan
sebagainya).
2). Psikomotor
Psikomotor terdiri dari lima tingkatan, yaitu:
a.
Peniruan (menirukan
gerak),
b.
Penggunaan
(menggunakan konsep untuk melakukan gerak),
c.
Ketepatan
(melakukan gerak dengan benar),
d.
Perangkaian
(beberapa gerakan sekaligus dengan benar),dan
e.
Naturalisasi
(melakukan gerak secara wajar).
3).
Afektif
Afektif terdiri dari lima tingkatan,yaitu :
a. Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu),
b. Merespons (aktif berpartisipasi),
c. Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia pada nilai nilai
tertentu),
d. Pengorganisasisan (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang
dipercayai,dan
e. Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagi bagian dari
pola hidup).
b). Kolb
Sementara itu, seorang ahli yang bernama Kolb membagi
tahapan belajar menjadi empat tahap, yaitu :
a. Pengalaman
konkret
b. Pengamatan
aktif dan reflektif
c. Konseptualisasi
d. Ekperimen
aktif
Pada tahap paling dini dalam proses belajar, seorang
siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami suatu kejadian. Dia belum mempunyai
kesadaran tentang hakikat kejadian tersebut.
Pada tahap kedua, siswa tersebut lambat laun mampu
mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha
memikirkan dan memahaminya.
Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar untuk membuat
abstraksi atau “teori” tentang suatu hal yang diamatinya.
Pada
tahap akhir (eksperimentasi aktif), siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu
aturan umum kesituasi yang baru.
c). Honey dan Mumford
Berdasarkan teori Kolb ini, Honey dan Mumford
membuat penggolongan siswa. Menurut mereka ada empat macam atau tipe siswa,
yaitu;
1).
Aktivis
2).
Reflector
3).
Teoris, dan
4).
Pragmati
d). Habermas
Ahli psikologi lain adalah Habermas yang dalam
pandangannya bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan
lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan asumsi ini, Habermas
mengelompokkan tipe belajar menjadi tiga bagian, yaitu;
1). Belajar teknis (technical learning)
2). Belajar praktis (practical learning)
3).
Belajar emansipatoris (emancipatory learning).
DAFTAR
PUSTAKA
M. Ngalim Purwanto, Psikologi
Pendidikan, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1990.
R.E, Slavin,..Educational
Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon. 2000.
Uno, B.
Hamzah, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, Jakarta: PT. Bumi
Aksara. 2005.
http://alkohol7.wordpress.com/2008/11/21/makalah-psikopen-teori-belajar/
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik.
http://www.freewebs.com/hijrahsaputra/catatan/TEORI%20BELAJAR%20DAN%20PEMBELAJARAN.htm.
Slavin,
R.E..Educational Psychology: Theory and Practice. (Sixth Edition.
Boston: Allyn and Bacon 2000), 143
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik
Hamzah
B. Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran,(Jakarta: PT. Bumi
Aksara), 6.
http://www.freewebs.com/hijrahsaputra/catatan/TEORI%20BELAJAR%20DAN%20PEMBELAJARAN.htm
Hamzah B. Uno, Orientasi
Baru …., 7.
M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung,
Remaja Rosdakarya, 1990), 98 – 99.
Drs.
M. Dalyono, Psikologi Pendidikan,
Rieneka Cipta, Jakarta,2007