Laman

Minggu, 06 Oktober 2013

Dahulu dan kini



Dahulu semasa kecil, sejak sd aku selalu ingin menjadi seorang pengibar bendera pada saat upacara. Pelajaran demi pelajaran pada saat latihan ku tempuh dari sejak kecil. Dari kesalahan-kesalahan yang pernah ku buat dahulu, aku pun berusaha untuk tak mengulanginya lagi serta mengambil pelajaran dari semua itu. Pengalaman itu selalu aku putar di dalam otak ini. Seorang iis kecil yang dahulu sering salah dalam mengibarkan bendera. Pernah membuat kesalahan tak lantas membuatku putus asa.
Menjadi Pengibar pada saat HUT RI ke- 63

Pasukan 8 pada saat pengibaran bendera HUT RI ke-63


Berfoto setelah pengibaran bendera pada HUT RI ke-63


Pada masa SMP pernah dihukum karena sebuah kesalahan yang tak disengaja. Namun, itulah konsekuensi yang harus ku hadapi pada saat itu karena aku ditugaskan untuk mengibarkan bendera di sekolah. Pada saat menginjak kelas IX (3 SMP) aku pun dipercayai untuk mengibarkan bendera pada upacara HUT RI ke-63 di lapangan samping sekolah bersama dengan anak-anak SD di lingkungan sekolahku berada. Alhamdulillah walau besar bendera tidak sebanding dengan tinggi tubuhku, berkat tips yang diberikan oleh pelatihku membawa hasil yang cukup maksimal. Usaha yang dilakukan berminggu-minggu berjalan dengan lancar.

Pada masa SMA, sejak kelas X (1 SMA) aku telah dipercayakan untuk membawakan baki bendera pada upacara HUT RI Ke-64. Sejak dari sini pula aku selalu dipercayakan untuk mengibarkan bendera pada setiap upacara hari senin di sekolah selama hampir 2 tahun. Banyak suka dan duka pada saat menjadi pengibar. Mimpiku dahulu sejak kecil adalah ingin menjadi pembawa baki di Istana Negara. Namun karena kekurangan pada diriku yang tak memungkinkan untuk masuk ke Paskibraka Kota saja aku tak masuk. Maka hampir pupuslah harapan untuk menjadi pembawa baki di Istana Negara.



Chandradimuka Korps Protokoler Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia Angkatan VI


Berfoto sebelum foto Angkatan di depan gedung Isola
Kini aku sudah menjadi Mahasiswa yang sudah tidak mungkin dapat ikut seleksi paskibraka kembali. Berawal dari keinginan itulah aku memutuskan untuk mengikuti sebuah unit kegiatan mahasiswa yang sangat super sekali. Aku melihat ini mungkin cocok untukku dan dapat meneruskan impianku yang dahulu hampir pupus sampai di tingkat SMA saja. Aku pun akhirnya dapat melanjutkan keinginanku sebelumnya (menjadi pembawa baki bendera di istana negara) namun memang sudah tidak bisa menjadi apa yang aku inginkan dahulu. Sekarang aku hanya bisa menjadi pembawa baki untuk setiap kegiatan di Universitas dan kegiatan lainnya yang membutuhkan protokoler. Walau beda yang dibawanya, namun aku tetap merasa senang aku bisa merasakan membawa baki walau hanya ditingkat Universitas saja. puncak dari itu semua adalah pada saat aku dipercaya untuk membawakan baki yang berisikan jas Almamater yang akan disematkan kepada Mahasiswa baru pada acara MOKAKU(Masa Orientasi dan Kuliah Umum) Tahun Ajaran 2013-2014 ini.

Walau keinginan itu tak tercapai, namun aku sangat bersyukur bisa merasakan menjadi pembawa baki di tingkat Universitas ini. Perjalanan masih panjang, semoga aku bisa mendapatkan pengalaman yang lebih banyak lagi. Mensyukuri apa yang telah terjadi saat ini adalah sebuah keindahan tersendiri yang telah ditakdirkan Allah kepada hambaNya ini. Tetap SEMANGAT!! ^_^

Selasa, 10 September 2013

Analisis Landasan Pendidikan terhadap Fenomena Tawuran di Kalangan Pelajar



Tawuran memang sekarang-sekarang ini sering terjadi di kalangan pelajar. Mulai dari SD juga sekarang malah sudah ada yang ikut-ikutan seperti kakak-kakaknya yang mencontohkan untuk tawuran seperti itu. Anak SD hanya ikut-ikutan dan mereka melakukan itu hanya atas dasar melihat kakak-kakaknya seperti itu. Mereka pun tidak tahu nantinya akan seperti apa dampak yang akan ditimbulkan dari kejadian tawuran tersebut.
Tidak hanya anak SD yang mengikuti kakak-kakak kelas yang berada di atas jenjang anak SD, yaitu SMP, SMA, bahkan Mahasiswa pun terkadang ikut-ikutan tawuran. Atas dasar yang berbeda-beda mereka melakukan tawuran. Mulai dari karena seorang teman yang dilecehkan. Dan atas nama solidaritas mereka rela berkorban demi temannya tersebut. Namu, hal itu seharusnya tidak dilakukan. Karena tawuran akan berakibat fatal hingga mengakibatkan kematian jika emosi pelaku sudah tidak dapat dikendalikan lagi.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus.
DAMPAK PERKELAHIAN PELAJAR
Jelas bahwa perkelahian pelajar ini merugikan banyak pihak. Paling tidak ada empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan. Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang paling dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Para pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia.
PANDANGAN UMUM TERHADAP PENYEBAB PERKELAHIAN PELAJAR
Sering dituduhkan, pelajar yang berkelahi berasal dari sekolah kejuruan, berasal dari keluarga dengan ekonomi yang lemah. Data di Jakarta tidak mendukung hal ini. Dari 275 sekolah yang sering terlibat perkelahian, 77 di antaranya adalah sekolah menengah umum. Begitu juga dari tingkat ekonominya, yang menunjukkan ada sebagian pelajar yang sering berkelahi berasal dari keluarga mampu secara ekonomi. Tuduhan lain juga sering dialamatkan ke sekolah yang dirasa kurang memberikan pendidikan agama dan moral yang baik. Begitu juga pada keluarga yang dikatakan kurang harmonis dan sering tidak berada di rumah.
Padahal penyebab perkelahian pelajar tidaklah sesederhana itu. Terutama di kota besar, masalahnya sedemikian kompleks, meliputi faktor sosiologis, budaya, psikologis, juga kebijakan pendidikan dalam arti luas (kurikulum yang padat misalnya), serta kebijakan publik lainnya seperti angkutan umum dan tata kota.
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik. Pada delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya.
TINJAUAN PSIKOLOGI PENYEBAB REMAJA TERLIBAT PERKELAHIAN PELAJAR
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1. Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3. Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.
4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
Dari tinjauan dasar-dasar pendidikan adalah
Berdasarkan sudut pandang pedagogik, sebagaimana dikemukakan M.J. Langeveld (1980) dapat disimpulkan bahwa pendidikan atau mendidik adalah suatu upaya orang dewasa yang dilakukan secara sengaja untuk membantu anak atau orang yang belum dewasa agar mencapai kedewasaan.
Maka dari itu, seharusnya pendidikan dapat mencegah para pelajar untuk berbuat hal-hal yang tidak sesuai dengan norma yang diajarkan di sekolah. Tawuran adalah salah satu kegiatan yang sangat melanggar norma-norma dengan cara berkelahi secara masal dan merugikan orang banyak. Dalam hal ini pendidikan juga dapat mendidik para pelajar agar menjadi manusia yang dewasa yangberfikir positif tentang hal yang akan mereka lakukan dan memikirkan dampak yang akan terjadi apabila mereka melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan.
Manusia sebagai Makhluk yang Perlu Dididik dan Dapat Dididik Setelah kelahirannya, manusia tidak dengan sendirinya mampu menjadi manusia. Untuk menjadi manusia, ia perlu dididik dan mendidik diri. Sehubungan dengan ini M.J. Langeveld (1980) menyebut manusia sebagai Animal Educandum.
Ada tiga prinsip antropologis yang mendasari perlunya manusia mendapatkan pendidikan dan mendidik diri, yaitu: (1) prinsip historisitas, (2) prinsip idealitas, dan (3) prinsip faktual/posibilitas. Kesimpulan bahwa manusia perlu dididik dan mendidik diri, mengimplikasikan bahwa manusia dapat dididik. Sehubungan dengan ini, M.J. Langeveld (1980) juga menyebut manusia sebagai Animal Educabile. Ada lima prinsip antropologis yang mendasari bahwa manusia dapat dididik yaitu: (1) prinsip potensialitas, (2) prinsip dinamika, (3) prinsip individualitas, (4) prinsip sosialitas, dan (5) prinsip moralitas.
Seharusnya manusia yang dapat dididik dan mendidik diri sendiri itu dapat menahan amarah sehingga tidak terjadi hal perkelahian atau tawuran semacam ini. Pada prinsip potensialitas, manusia berpotensi untuk melakukan segala hal yang ia kehendaki dari dirinya sendiri maupun dorongan dari orang lain. Pada prinsip dinamika, manusia dapat bergerak sesuai dengan kehendaknya. Hal ini dapat dibuktikan dengan prinsip individualitas yang menyakini bahwa dirinya benar.
Namun, dalam prinsip sosialitas, tawuran dapat menjadi sasaran karena seseorang merasa berjiwa sosial terhadap teman seperjuangannya jika ia ikut membantu temannnya tersebut tanpa mengetahui sebenarnya siapa yang bersalah. Karena sikap sosialitasnya ia berani untuk mengambil resiko tanpa berfikir dengan matang apa yang akan terjadi nantinya. Seharusnya apabila kita memiliki prinsip sosialitas dalam diri, kita harus mengetahui mana yang benar dan mana yang salah tanpa mendiskriminasikan seseorang, dalam prinsip moralitas, kita diajarkan untuk memiliki moral yang baik demi terciptanya manusia yang berpendidikan. Bukannya malah tawuran yang jelas-jelas dapat merusak moral seseorang dan mengakibatkan hal yang tidak diinginkan. Jika para pelajar itu bermoral, maka mereka tidak akan langsung mengambil keputusan untuk melakukan tawuran yang jelas-jelas sangat merugikan banyak pihak.
Landasan yuridis pendidikan Indonesia adalah seperangkat konsep peraturan perundang-undangan yang menjadi titik tolak system pendidikan Indonesia, yang menurut Undang-Undang Dasar 1945 meliputi, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Ketetapan MPR, Undang-Undang Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, Keputusan Presiden, peraturan pelaksanaan lainnya, seperti peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain.
Sistem pendidikan nasional yaitu “pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” (Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003)
Pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia terdapat pasal-pasal yang mengatur tantang pelajar. Apabila terjadi tawuran seperti ini akan merusak pemahaman yang terjadi di dalam suatu tatanan kehidupan bermasyarakat. Jika manusia itu benar-benar dididik sesuai dengan UUD RI, maka tidak akan terjadi tawuran yang belakang ini sering terjadi. Para pelajar lebih bisa memahami apa nilai-nilai yang terkandung di dalam UUD RI.
Dan kita pun dengan tenang hidup rukun dengan sesama tanpa adanya tawuran antar pelajar di lingkungan sekolah. Seharusnya yang terjadi adalah saling bersilaturahmi antar pelajar agar terjalin tali persaudaraan yang kuat antar sesama pelajar, saling berkomunikasi dan sharing tentang masalah-masalah yang sedang dihadapi. Bukannya malah bermusuhan dan terkadang malah menimbulkan korban jiwa akibat kejadian tawuran tersebut.
Hal ini pun juga terdapar di dalam Pancasila yang berbunyi, “ Kemanusiaan yang adil dan beradab” serta “Persatuan Indonesia”. Kita, sebagai manusia yang adil dan beradab seharusnya dan tidak sepatutnya untuk melakukan hal seperti tawuran dan hal-hal yang tidak terpuji lainnya.
Di dalam Pancasila ini kita dituntut untuk menjadi manusia yang adil dan beradab. Sebagai manusia yang dididik, kita juga harus memiliki sifat adil dan beradab agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan yang dapt merusak harkat dan martabat bangsa karena anak muda sebagai penerus bangsa ini terang-terangan melakukan tawuran di muka umum dengan bangga dan tanpa sadar apa yang dilakukannya terhadap sekelompok temannya tersebut. Terkadang malah hanya karena masalah sepele mereka melakukan tawuran dan terkadang tidak sesuai dengan alasan yang logis.
Dalam Pancasila juga terdapat kata “Persatuan Indonesia”. Kita sebagai rakyat yang terdidik dan dididik seharusnya dapat memahami arti dari kata “Persatuan Indonesia” yang bermakna sangat luas. Kita sebagai rakyat Indonesia harus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Maka dari itu seharusnya kita dapat menghindari kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat dan justru akan merusak persatuan  dan kesatuan bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Paket Landasan Pendidikan: UPI : 2012

Teori Belajar

Pengertian Belajar

Dalam psikologi dan pendidikan , pembelajaran secara umum didefinisikan sebagai suatu proses yang menyatukan kognitif, emosional, dan lingkungan pengaruh dan untuk pengalaman memperoleh, meningkatkan, atau membuat perubahan satu pengetahuan, keterampilan, nilai, dan pandangan dunia (Illeris, 2000; Ormorod, 1995).
Belajar sebagai suatu proses berfokus pada apa yang terjadi ketika belajar berlangsung. Penjelasan tentang apa yang terjadi merupakan teori-teori belajar. Teori belajar adalah upaya untuk menggambarkan bagaimana orang dan hewan belajar, sehingga membantu kita memahami proses kompleks inheren pembelajaran. (Wikipedia) 

Macam-macam teori belajar
Dengan berkembangnya psikologi dalam pendidikan, maka bersamaan dengan itu bermunculan pula berbagai teori tentang belajar.Dari berbagai tulisan yang membahas tentang perkembangan teori belajar seperti (Atkinson, dkk. 1997; Gledler Margaret Bell, 1986) Di munculah secara beruntun beberapa aliran psikologi pendidikan, masing-masing yaitu:
  • Psikologi behavioristik,
  • Psikologi  Kognitif,dan
  • Psikologi  Humanistis.
Ketiga aliran psikologi pendidikan di atas tumbuh dan berkembang secara beruntun, dari priode ke priode berikutnya. Dalam setiap priode perkembangan aliran psikologi  tersebut bermunculan teori-teori tentang belajar, yaitu:
  • Teori-teori belajar dari psikologi behavioristik.
  • Teori-teori belajar dari psikologi Kognitif.
  • Teori-teori belajar dari psikologi Humanistis.
Adapun uraian masing-masing kelompok teori belajar tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Teori belajar behavioristik
Teori behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Contoh teori belajar behavorisme, Orang tua kita selalu menyuruh agar kita selalu memotong kuku saat kuku kita sudah panjang. Kita tidak tahu alasan kenapa kita harus memotong kuku. Kita melakukan hal tersebut karena orang tua selalu memberi contoh, karena itu kita juga memotong kuku kita. Hal tersebut juga sudah menjadi kebiasaan.
Pandangan tentang belajar menurut aliran tingkah laku (behavioristik), tidak lain adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Atau dengan kata lain, belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Para ahli yang banyak berkarya dalam aliran ini antara lain:    Thorndike,(1911) ; Wathson,(1963) ; Hull,(1943); dan Skinner,(1968). 

Thorndike
Pada mulanya, pendidikan dan pengajaran di Amerika Serikat didominasi oleh pengaruh dari Thorndike (1874 – 1949). Teori Thorndike disebut sebagai “aliran koneksionis” atau connectionism, karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Menurut Thorndike (1911), salah seorang pendiri aliran tingkah laku, belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan respons ( yang juga bisa berupa pikiran, perasaan, atau gerakan). Jelasnya, menurut Thorndike, perubahan tingkah laku boleh berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang nonkonkret (tidak bias diamati).
Teori ini sering juga disebut dengan “trial-and-error learning” individu yang belajar melakukan kegiatan melalui proses “trial-and-error” dalam rangka memilih respon yang tepat bagi stimulasi tertentu. Menurut teori trial and error (mencoba-coba dan gagal) ini, setiap organisme jika dihadapkan dengan situasi baru akan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya coba-coba secara terus-menerus. Jika dalam usaha mencoba itu kemudian secara kebetulan ada perbuatan yang dianggap memenuhi tuntutan situasi, maka perbuatan yang cocok itu kemudian dipegangnya. Karena latihan yang terus menerus maka waktu yang dipergunakan untuk melakukan perbuatan yang cocok itu makin lama makin efisien.Ciri-ciri belajar dengan  “trial-and-error” yaitu:
  • Ada motif pendorong aktivitas,
  • Ada berbagai respon  terhadap situasi,
  •  Ada berbagai respon-respon yang gagal atau salah,dan
  •  Ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan.
 Jadi, proses belajar menurut Thorndike melalui proses: 

Hukum Kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.  Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk asosiasi(connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak..
Masalah-masalah yang terjadi dalam hukum Law of Readiness:
a)      Masalah pertama hukum law of readiness adalah jika kecenderungan bertindak dan orang melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan lain.
b)      Masalah kedua, jika ada kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak melakukannya, maka timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
c)      Masalah ketiganya adalah bila tidak ada kecenderungan bertindak padahal ia melakukannya, maka timbullah ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
2.)    Hukum Latihan (law of exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/dilatih (digunakan) , maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Prinsip law of exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
3.)  Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah  jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.                                                                                                                                                    
 sSkiner
Dari semua pendukung teori tingkah laku, mungkn teori Skinner lah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar. Skinner menganggap “reward” atau “ reinforment” sebagai faktor terpenting dalam proses belajar. Beberapa program pembelajaran seperti Teaching machine, Mathetics, atau program-program lain yang memakai konsep stimulus, respons, dan factor penguat (reinforcement), adalah contoh-contoh program yang memanfaatkan teori skinner. Skinner membagi dua jenis respon dalam proses belajar, yakni:
·      Respondents     : Respon yang terjadi karena stimulus khusus, misalnya Pavlov.
·      Operants           : Respon yang terjadi karena situasi random.
Prinsip belajar Skinner adalah :
1).    Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan, jika benar diberi penguat.
2).    Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul.
3).    Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman.
4).    Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer.
5).    Dalam pembelajaran digunakan shapping. 

Clark Hull
Teori ini, terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya, ternyata tidak banyak dipakai dalam dunia praktis, meskipun sering digunakan dalam berbagai eksperimen dalam laboratorium. Mengemukakan konsep pokok teorinya yang sangat di pengaruhi oleh teori evolusi Darwin. Dia berpendapat bahwa tingkah laku seseorang berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup. Oleh karena itu, dalam teori Hull, kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis menempati posisi sentral. Menurut Hull, kebutuhan dikonsepkan sebagai dorongan , seperti lapar, haus, tidur, dan sebagainya. Stimulus hampir selalu di kaitkan dengan kebutuhan biologis ini, meskipun menghasilkan respon yang berbeda–beda bentuknya. Teori ini tidak banyak dipakai dalam dunia praktis karena dianggap terlalu kompleks dan sulit dimengerti, idenya tentang proses internal dianggap abstrak dan sulit dibuktikan melalui eksperimen empiris, dan partikularistic, usaha utk menggeneralisasi hasil eksperimen secara berlebihan, meskipun sering digunakan dalam berbagai eksperimen
Dua hal yang sangat penting dalam proses belajar dari Hull ialah adanya Incentive motivation (motivasi insentif) dan Drive reduction (pengurangan stimulus pendorong). Kecepatan berespon berubah bila besarnya hadiah (revaro) berubah.
Penggunaan praktis teori belajar dari Hull ini untuk kegiatan dalam kelas, adalah sebagai berikut:
1).Teori belajar didasarkan pada Drive-reduction atau drive stimulus reduction.
2).Intruksional obyektif harus dirumuskan secara spesifik dan jelas.
3). Ruangan kelas harus dimulai dari yang sedemikian rupa sehingga memudahkan terjadinya proses belajar.
4). Pelajaran harus dimulai dari yang sederhana/ mudah menuju kepada yang lebih kompleks/ sulit.
5). Kecemasan harus ditimbulkan untuk mendorong kemauan belajar.
6). Latihan harus didistribusikan dengan hati-hati supaya tidak terjadi inhibisi. Dengan perkataan lain, kelelahan tidak boleh menggangu belajar.
7). Urutan mata pelajaran diatur sedemikian rupa sehingga mata pelajaran yang terdahulu tidak menghambat tetapi justru harus menjadi perangsang yang mendorong belajar pada mata pelajaran berikutnya. 


Watson
Berbeda dengan Thorndike, menurut Watson pelopor yang datang sesudah Thorndike, stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku yang “bisa diamati”(observable). Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tidak perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa tidak penting. Semua itu penting, akan tetapi faktor-faktor tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum. Penganut aliran ini lebih suka memilih untuk tidak memikirkan hal – hal yang tidak bisa diukur, meskipun mereka tetap mengakui bahwa semua hal itu penting. Pendapat yang di kemukakan yaitu :
·         Teori stimulus dan respon. Apabila kita menganalisis tingkah laku yang kompleks, akan di temukan rangkaian unit stimulus dan respon yang disebut reflex. Stimulus merupakan situasi objektif dan respon merupakan reaksi subjektif individu terhadap stimulus.
·         Pengamatan dan kesan. Adanya kesan motoris di tujukan terhadap berbagai stimulus.
·         Perasaan, Tingkah laku dan Afektif. Di temukan tiga reaksi emosional yang di bawa sejak lahir, yaitu : takut, marah, dan cinta. Perasaan senag dan tidak senang merupakan reaksi senso motoris.
·         Teori berpikir. Berpikir harus merupakan tingkah laku senso motoris dan berbicara dalam hati adalah tingkah laku berfikir.
·         Pengaruh Lingkungan tehadap perkembangan individu. Reaksi instinktif atau kodrati yang di bawa sejak lahir jumlahnya sedikit sekali, sedangkan kebiasaan – kebiasaan yang terbentuk dalam perkembangan di sebabkan oleh latihan dan belajar. 

Edwin Guthrie
Teori Edwin Gutrie, mengemukakan teori kontinguiti yang memandang bahwa belajar merupakan kaitan asosiatif antara stimulus tertentu dan respon tertentu. Selanjutnya Edwin Guthrie berpendapat bahwa hubungan antara stimulus dan respon merupakan faktor kritis dalam belajar. Oleh karena itu, di perlukan pemberian stimulus yang sering agar hubungan menjadi lebih langgeng. Selain itu, suatu respon akan lebih kuat apabila respon tersebut berhubungan dengan berbagai macam stimulus. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki kebiasaan merokok sulit di tinggalkan. Hal ini dapat terjadi karena merokok bukan hanya berhubungan dengan satu macam stimulus, tetapi juga dengan stimulus lain seperti minum kopi.Guthrie juga mengemukakan bahwa hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Menurutnya suatu hukuman yang di berikan pada waktu yang tepat, akan mampu mengubah kebiasaan seseorang Guthrie juga mengemukakan bahwa “hukuman” memegang peran penting dalam belajar. Menurutnya suatu hukuman yang diberikan pada saat yang tepat, akan mampu mengubah kebiasaan seseorang. Sebagai contoh, seorang anak perempuan yang setiap kali pulang sekolah, selalu mencampakkan baju dan topinya di lantai.
Kemudian ibunya menyuruh agar baju dan topi dipakai kembali oleh anaknya, lalu kembali keluar, dan masuk rumah kembali sambil menggantungkan topi dan bajunya di tempat gantungan. Setelah beberapa kali melakukan hal itu, respons menggantung topi dan baju menjadi terisolasi dengan stimulus memasuki rumah. Meskipun demikian, nantinya faktor hukuman ini tidak lagi dominan dalam teori-teori tingkah laku. Terutama Skinner makin mempopulerkan ide tentang “penguatan” (reinforcement). 

Teori  Belajar kognitivisme
Teori belajar kognitif mulai berkembang pada abad terakhir sebagai protes terhadap teori perilaku yang yang telah berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengehuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan pada bagaimana informasi diproses.
Peneliti yang mengembangkan teori kognitif  ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel menekankan pada apsek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap belajar.Bruner bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban atas bagaimana peserta didik memperoleh informasi dari lingkungan.
Beberapa ahli berpendapat tentang teori belajar kognitivisme, diantaranya sebagai berikut:
a). Piaget “Cognitive-Developmental”
Menurut Jean Piaget (1975) salah seorang penganut aliran kognitif   adalah pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemampuan mental baru yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektual adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif.
Selain itu Jean Piaget  mengatakan  bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni:
1)      Kematangan,
2)      Pengalaman fisik/ lingkungan,
3)      Transmisi sosial, dan
4)      Equilibrium atau self regulation.
Selanjutnya Jean membagi tingkatan-tingkatan perkembangan, yaitu:
1)      Tingkat Sensori Motoris          : 0,0 – 2,0
2)      Tingkat Preoperasional            : 2,0 – 7,0
3)      Tingkat operasi konkret          : 7,0 – 11,0
4)      Tingkat operasi formal            : 11,0 -----
b). Ausubel “advance organizer”
Ausubel percaya bahwa “advance organizer” dapat memberikan tiga manfaat;
1).    Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa.
2).   Dapat berfungsi sebagai jembatan antara apa yang sedang dipelajari siswa saat ini dengan apa yang akan dipelajari siswa, sedemikian rupa sehingga;
3).   Mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.
c). Jerome Bruner “ Discovery Learning”
Menurut pandangan Brunner (1964)  adalah Discovery Learning yaitu di mana murid mengorganisasi badan yang mempelajari dengan suatu bentuk akhir. Selain itu Brunner menyatakan  bahwa teori belajar itu bersifat deskriptif, sedangkan teori pembelajaran itu bersifat preskriptif. Misalnya, teori penjumlahan, sedangkan teori pembelajaran menguraikan bagaimana cara mengajarkan penjumlahan.
3.       Teori Belajar Humanitis
Menurut para pendidik aliran humanitis penyusunan dan pengkajian materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan danperhatian siswa. Tujuan utama pendidik adalah membantu seswa mengembangkan diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantunya dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka (Hamachek,1997,p. 148)
a).  Bloon dan Krathowl
Dalam hal ini, Bloom dan Krathowl menunjukkan apa yang  mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa, yang tercakup dalam tiga kawasan berikut:

1). Kognitif
             Kognitif terdiri dari enam tingkatan yaitu :
a.       Pengetahuan (mengingat, menghafal),
b.      Pemahaman(menginterprestasikan),
c.       Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah),
d.      Analisis (menjabarkan suatu konsep),
e.       Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh),
f.       Evaluasi (membandingkan nilai, ide, metode, dan sebagainya).
2). Psikomotor
Psikomotor terdiri dari lima tingkatan, yaitu:
a.       Peniruan (menirukan gerak),
b.      Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak),
c.       Ketepatan (melakukan gerak dengan benar),
d.      Perangkaian (beberapa gerakan sekaligus dengan benar),dan
e.       Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar).
3).  Afektif
            Afektif terdiri dari lima tingkatan,yaitu :
a.       Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu),
b.      Merespons (aktif berpartisipasi),
c.       Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia pada nilai nilai tertentu),
d.      Pengorganisasisan (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayai,dan
e.       Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagi bagian dari pola hidup).
b). Kolb
Sementara itu, seorang ahli yang bernama Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat tahap, yaitu :
a.       Pengalaman konkret
b.      Pengamatan aktif dan reflektif
c.       Konseptualisasi
d.      Ekperimen aktif
Pada tahap paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami suatu kejadian. Dia belum mempunyai kesadaran tentang hakikat kejadian tersebut.
Pada tahap kedua, siswa tersebut lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.
Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau “teori” tentang suatu hal yang diamatinya.
Pada tahap akhir (eksperimentasi aktif), siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum kesituasi yang baru.
c). Honey dan Mumford
Berdasarkan teori Kolb ini, Honey dan Mumford membuat penggolongan siswa. Menurut mereka ada empat macam atau tipe siswa, yaitu;
1). Aktivis
2). Reflector
3). Teoris, dan
4). Pragmati
d). Habermas
Ahli psikologi lain adalah Habermas yang dalam pandangannya bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan asumsi ini, Habermas mengelompokkan tipe belajar menjadi tiga bagian, yaitu;
1). Belajar teknis (technical learning)
2). Belajar praktis (practical learning)
3). Belajar emansipatoris (emancipatory learning).









DAFTAR PUSTAKA
M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1990.
R.E, Slavin,..Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon. 2000.
Uno, B. Hamzah, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2005.
http://alkohol7.wordpress.com/2008/11/21/makalah-psikopen-teori-belajar/
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik.
http://www.freewebs.com/hijrahsaputra/catatan/TEORI%20BELAJAR%20DAN%20PEMBELAJARAN.htm.
Slavin, R.E..Educational Psychology: Theory and Practice. (Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon 2000), 143
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik
Hamzah B. Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran,(Jakarta: PT. Bumi Aksara), 6.
http://www.freewebs.com/hijrahsaputra/catatan/TEORI%20BELAJAR%20DAN%20PEMBELAJARAN.htm
 Hamzah B. Uno, Orientasi Baru …., 7.
M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1990),  98 – 99.
Drs. M. Dalyono, Psikologi Pendidikan, Rieneka Cipta, Jakarta,2007